Berkah dari Sayyidina Ali memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah ke Kuffah adalah semakin menyebarnya khazanah keilmuan Islam ke wilayah Persia (Irak & Iran), selain Amirul Mukminin dan juga keluarga beliau, ikut serta pula sahabat Nabi Saw, antara lain Abu Musa al Asy'ari, Ammar Bin Yassir, Salman al Farizi, Hudzaifah, Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud. Dari hal inilah kemudian lahir ulama-ulama Kuffah (bercorak fiqih Iraq) seperti Hasan al Basri, Masruq, Sufyan ats Tsauri, Hammad, Ibrahim Nakha'i 'dll...
Di era selanjutnya estafet keilmuan generasi Irak di teruskan Imam Abu Hanifah, ia dilahirkan tahun 80H di Kufah, pada masa bani Umayyah dipimpin Khalifah Abdul Malik bin Marwan yang "mengendalikan" pemerintahan di Damaskus. Imam Suyuthi melaporkan dalam tarikh Khulafa, di era Abdul Malik bin Marwan kekuasaan bani Umayyah di Syam meluas meliputi Hijaz (Makkah, Madinah) dengan berlumuran darah setelah "merebut" dari tangan Abdullah bin Zubbair yang berkuasa atas Hijaz kala itu. Kebiasaan Imam abu Hanifah saat tiap tahun menunaikan Haji, ia sempatkan untuk bertemu dengan sahabat Nabi Saw Malik bin Annas, Abdulah bin Zubbair dan belajar kepada kedua sahabat Nabi tersebut.
Abu Hanifah "bersimpuh" 18 tahun kepada pamanya Hammad yang mana pamanya tersebut murid dari imam Nafi’ (maula Ibnu Umar), imam Qatadah. Dari syekh Hammad ini pula, ia belajar fiqih secara mendalam dengan transmisi keilmuan yang sampai pada Rasulullah. Sebab, gurunya itu merupakan murid dari Ibrahim al-Nakha’i dan al-Sya’bi, yang mana keduanya adalah santri tiga ulama besar al-Qhadli, Alqamah bin Qais dan Masruq’. Mereka semua belajar fikih kepada Abdullah bin Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib.
Imam Abu Hanifah hidup di dalam keluarga saudagar kaya raya, beliau meneruskan usaha keluarganya jual beli barang-barang kebutuhan pokok seperti sandang pangan, saking kayanya hingga murid-murid yang belajar kepadanya dari kalangan yang tidak mampu untuk bekal beliau "gaji".
Paras Imam Abu Hanifah tampan mencerminkan ketampanan orang-orang Persia, ucapannya fasih, santun, argumentasinya kuat, sangat cerdas, berwibawa, pendiam, selalu berpikir dan kata-katanya bagaikan mutiara. Demikian gambaran para ulama se-zamanya tentang beliau.
Abu Hanifah adalah salah satu ulama yang memiliki banyak sekali murid. Banyak dari murid-murid beliau yang menjadi ulama besar pada zamannya. Di antara jajaran murid-murid beliau adalah Abu Yusuf. Abu Yusuf, kelak dikemudian hari menjadi salah satu guru imam Syafi'i di Kuffah. Abu Yusuf ketika kecil bukanlah dari keluarga berada. Ketika disuruh bapaknya bekerja, dia malah mampir ke majelis Abu Hanifah, untuk mendegar sang Imam mengajar. Hal ini tidak luput dari pengamatan Abu Hanifah. Bahkan tak jarang untuk menyambung hidup sehari-harinya Abu Yusuf sampai memunguti kulit-kulit semangka yang berserakan, sekedar mengganjal perutnya yang belum terisi.
Suatu ketika setelah selesai majelis Abu Hanifah, ayahnya Tanya, "Kamu dari mana?".
"Dari majelis Abu Hanifah".
"Kamu jangan lagi ke sana,”, “Abu Hanifah kaya, berkecukupan, sedangkan kita makan saja susah, kamu harus kerja." Tukas sang Ayah.
Abu Yusuf pun mulai jarang ke majelis Abu Hanifah. Hal itu ternyata diperhatikan oleh Imam Abu Hanifah, ketika bertemu Abu Yusuf, beliau bertanya, "Kamu kenapa tidak kelihatan lagi di majelis?"
"Saya harus kerja, Syekh,” jawab Abu Yusuf, “Keadaan saya tidak memungkinkan hadir majelis."
"Berapa pendapatanmu sehari? Saya akan memberimu lebih besar, hadirlah di majelis ilmu," Lalu Imam Abu Hanifah memberinya 100 dirham.
Setiap Abu Yusuf kehabisan uang, beliau selalu memberikan 100 dirham, tanpa bertanya apakah uang Abu Yusuf sudah habis.
Ketika ayahnya meninggal, ibunya meminta Abu Yusuf untuk bekerja, lalu Abu Hanifah berkata :
"Jangan halangi Abu Yusuf dari majelis, nanti aku yang menanggung kebutuhannya.
"Aku melihat Abu Yusuf makan Falujaj bil fustuq"(kue paling mewah zaman itu yang merupakan hidangan di istana).”
Ketika Imam Abu Hanifah berfirasat mendekati ajalnya, beliau memanggil seluruh murid-muridnya , beliau membagikan seluruh harta yang beliau miliki tanpa meninggalkan suatupun kecuali selembar baju yang beliau kenakan. Di antaranya ada yang mendapatkan kitab, beberapa harta, dan lainnya. Namun, salah satu dari murid Imam Abu Hanifah, yakni Imam Abu Yusuf tidak mendengar kabar tentang kejadian tersebut, karena beliau sedang berada di luar pesantren.
Ketika sudah pulang, ia pun kaget melihat para murid Imam Abu Hanifah yang sedang bubar dari kediaman beliau. Imam Abu Yusuf pun bertanya pada salah satu temanya yang dia temui. “Apa yang telah aku lewatkan?”.
“Tadi, Guru telah membagikan seluruh hartanya pada murid-muridnya.” Kata temanya tersebut.
Abu Yusuf tercengang dengan apa yang telah dikatakan oleh murid tersebut. Lalu, dia pun berinisiatif untuk pergi mengunjungi gurunya. Ketika sudah berada dihadapan Imam Abu Hanifah, Abu yusuf berakata.
"Wahai Syeikh, engkau telah memberikan seluruh harta peninggalanmu kepada murid-muridmu. Maka dari itu, saya meminta nasihat yang akan selalu saya bawa sampai akhir hayat saya.”
Imam Abi Hanifah tertegun sesaat. Melihat wajah sedih Abu Yusuf, Imam Abu Hanifah memanggil dan berbisik lirih:
إن للخفاش مني كمني الرجل
“Kelelawar punya mani sebagaimana maninya laki-laki.”
Dalam riwayat lain dengan redaksi kalimat :
“Al-wad wadul manniyyi kal maniyyi rojuli.”
Sperma kelelawar seperti halnya sperma seorang lelaki.
Abu Yusuf pun tercekat dengan wasiat yang diberikan kepadanya. Lama ia memikirkan apa maksud Imam Abu Hanifah berkata demikian. Namun semakin lama dipikirkan, Abu Yusuf semakin tak mengerti. Akhirnya beliau berbaik sangka saja dan tetap mengingat-ngingat pesan yang disampaikan oleh sang guru.
Sepeninggalan Imam Abu Hanifah, murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama besar berpengerauh di zamannya. Namun tidak dengan Abu Yusuf. Abu Yusuf menjadi ulama di sebuah desa terpencil yang jauh dari perkotaan. Sehingga nama beliau pada waktu itu belum begitu masyhur halnya murid Imam Abu Hanifah yang lain seperti Al Waqi, Hasan Syaibani...
Waktu berganti, dinasti Umayyah tumbang beralih ke Dinasti abbasiyah dan harun ar Rasyid khalifah ke-5 dari Bani Abbasiyah. Berbeda halnya dengan Dinasti Umayyah yang menjadikan Damascus (suriah) sebagai pusat pemerintahan, maka Dinasti Abbasiyah menjadikan Baghdad (Irak) menjadi pusat pemerintahan.
Harun ar Rasyid memiliki seorang permaisuri yang terkenal sangat cantik pada zaman-nya yang bernama Zubaidah. Suatu hari, Harun ar-Rasyid melakukan sebuah perjalanan jauh yang memakan waktu cukup lama, sehingga terpaksa beliau meninggalkan istana, lamanya perjalanan beliau karena suatu tugas sebagai khalifah sehingga beliaupun merasakan kerinduan dan kekhawatiran terhadap permaisuri tercintanya. Kekhawatiran pun menjelma menjadi kenyataan. Ketika telah pulang, beliau tercengang ketika melihat kasur yang ditempati permaisuri tercintanya terdapat noda seperti sperma.
Seketika seluruh istana gempar dengan kasus tersebut. Lalu didatangkanlah seluruh ulama dari seluruh negeri. Segala pendapat telah diutarakan. Namun, tidak ada satupun jawaban yang berhasil memuaskan. Khalifah Harun ar Rasyid pun semakin gelisah. Sampai salah satu dari ulama yang telah dipanggil mengutarakan pendapatnya:
“Wahai Khalifah! Jikalau engkau ingin menyelesaikan permasalahan ini, maka panggillah Imam Abu Yusuf. Beliau adalah salah satu dari murid Imam Abu Hanifah.”
Imam Abu Yusuf pun dipanggil menghadap, beliau pun dipaparkan tentang duduk masalah yang tengah terjadi. Ketika sudah memahami akar dari permasalahnnya, beliau pun meminta izin untuk melihat kamar permaisuri. Imam Abu Yusuf mengedarkan padangan kesekitar kamar, dan pandangan beliau terfokuskan pada atap ruangan kamar yang berongga.
Abu Yusuf teringat "wasiat" gurunya, ketika teman²nya dapat harta dan ia hanya dapat 'wasiat' kelelawar. Apa perlunya kelelawar?.
Tapi karena adab dengan guru beliau ridha terhadap bagiannya kala itu.
Dan ketika beliau melihat bagian dalam dari atap tersebut, beliau mendapati seekor kelelawar yang berukuran besar yang mana air spermanya menetes dan membasahi sekitarnya. Abu Yusuf pun turun dan berkata pada Khalifah.
“Wahai Khalifah, hewan inilah yang membasahi kasur permaisuri. Dan cairan yang menempel pada kasur tersebut bisa dipastikan bukan milik seorang lelaki.”
Harun ar Rasyid pun takjub dengan ilmu yang dimiliki oleh Imam Abu Yusuf, atas kejadian tersebut Khalifah mengangkat beliau sebagai Qodhi. Imam Abu Yusuf semakin terkenal dengan menjadi Qadhi (hakim negara).
Suatu ketika sebagai pejabat ia diundang khalifah untuk makan, dihidangkanlah kue dan manis-manisan.
Abu Yusuf bertanya kepada khalifah, "Apa nama makanan ini?".
"Falujaj bil Fustuq," ujar Khalifah.
"Abu Yusuf pun tertawa".
Khalifah bertanya, "Kenapa engkau tertawa Syeikh?". Khalifah mendesak apa gerangan yang membuatnya tertawa, akhirnya Abu Yusuf bercerita.
Abu Yusuf berkata bahwa ia tertawa, terngiang perkataan gurunya Imam Abu Hanifah kepada ibunya ketika kecil: "Aku melihat Abu Yusuf makan Falujaj bil Fustuq".
Nama lengkapnya Ya’qub bin Ibrahim bin Habib bin Khunais bin Sa’ad al Anshari al Jalbi al Kufi al Baghdadi, lebih dikenal sebagai Abu Yusuf, lahir di Kufah pada tahun 113 H, wafat Baghdad 182 H. Dari nasab ibunya, ia masih mempunyai hubungan darah dengan salah seorang sahabat Rasulullah, Sa’ad al Anshari
(Ta’lim Muata’alim).
والله اعلم
Disadur dari https://www.facebook.com/share/p/18VpN6CwuK/
oleh Gus Musa Muhammad
oleh Gus Musa Muhammad
0 Comments:
Posting Komentar
Bijaklah Dalam Berkomentar!